beranda

Kamis, 03 Juli 2014

Gengsinya Rendah, Malunya Tinggi

Gengsinya Rendah, Malunya Tinggi

Waktu ngeliat Bupati Bantaeng diwawancara di acara Mata Najwa, saya langsung kagum. Kenapa? Begini ceritanya: Konon Nurdin Abdullah tidak pernah bermimpi menjadi bupati Kabupaten Bantaeng. Masyarakatlah yang mendesak pria kelahiran Pare-Pare, 7 November 1963 ini, sehingga akhirnya memutuskan menjadi orang nomor satu di kabupaten yang terletak di pesisir Sulawesi Selatan itu.

Sebelum menjadi bupati, Nurdin menduduki posisi sebagai presiden direktur di empat perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Jepang, yaitu PT Maruki Internasional Indonesia, Hakata Marine Indonesia, Hakata Marine Hatchery, dan Kyushu Medical Co Ltd. Kepada Najwa Shihab, Nurdin mengatakan bahwa gaji per bulannya sebagai presdir setara dengan gaji bupati selama 20 tahun. Ck...ck...ck...

Dan sepak terjangnya sungguh mencengangkan. Bantaeng yang tadinya langganan banjir langsung teratasi dengan dibangunnya waduk yang menampung curah hujan yang tinggi. Rumah sakit modern setinggi 8 lantai selesai dibangun. Bahkan daerah-daerah sekitar pantai yang tadinya terlihat kumuh, sekarang telah menjelma menjadi obyek wisata yang cantik.

Salah satu dialog yang cukup membekas di hati saya adalah ketika Nurdin berkata, "Saya lama tinggal di Jepang. Sedikit banyak saya ketularan juga dengan sikap hidup mereka."

"Sikap hidup seperti apa itu?" tanya Najwa Shihab.

"Orang Jepang itu gengsinya rendah dan malunya tinggi."

Sebuah kalimat yang sangat inspiratif dan sedikit banyak membuka mata saya terhadap nilai-nilai hidup. Secara umum, bukan cuma di Jepang yang menganut paham ini, di semua negara maju rata-rata filosofi ini dikedepankan.

Saya masih ingat bagaimana wakil kepala sekolah di Korea sampe bunuh diri karena malu dan merasa bersalah ketika murid-muridnya tenggelam bersama kapal Feri yang sedang ditumpangi dalam acara darmawisata sekolah. Bahkan Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won pun segera mengumumkan pengunduran dirinya menyusul banyaknya kritik soal respons pemerintah dalam menangani bencara tersebut.

Gila ya? Gengsinya rendah dan malunya tinggi. Coba bayangin sama peristiwa sodomi di Sekolah Internasional JIS Jakarta? Jangankan menteri mengundurkan diri, guru-gurunya aja ga ada satu pun yang mau ngaku salah. Selalu argumentasinya "Itu kan oknum". Begitu juga tewasnya Dimas mahasiswa STIP yang digebukin seniornya? Boro-boro menterinya, kepala sekolahnya juga ga mau ngaku salah. Jawabannya selalu sama "Oknum".

Gengsinya rendah dan malunya tinggi ini sebenernya udah tercermin dalam budaya harakiri di Jepang. Harakiri juga merupakan implementasi dari menebus rasa malu dan kegagalan dalam melakukan tugas. Budaya ini sudah dianut sejak jaman dulu kala, sehingga kita bisa memahami bagaimana orang Jepang sangat menjunjung martabatnya sebagai manusia.

Jadi ga perlu heran kalo kita mendengar ada seorang menteri di kabinet Jepang mengundurkan diri cuma gara-gara salah seorang stafnya ketauan korupsi. Mereka ga pernah berusaha berlindung di bawah alasan kata "oknum."

Nah, pernah ga ngedenger ada pejabat di Indonesia yang mengundurkan diri gara-gara stafnya korupsi? Di negeri kita, boro-boro mengundurkan diri, orang yang udah ada di penjara aja masih dilantik sebagai pejabat publik. Edannya lagi, acara pelantikannya pun diselenggarakan di penjara. Yang ngelantik udah gila, yang dilantik ga punya malu. Pokoknya kan jadi pejabat. Pokoknya kan gengsi naik. Soal malu mah muka udah kapalan.

Belakangan ini saya lagi suka banget nonton acara The Voice di AXN. Buat saya acara ini lebih bermutu daripada acara American Idol. Kenapa? Karena pesertanya memang dipilih, jadi bukan ngedaftar terus ngantri audisi kayak di acara Idol-idol lainnya. Makanya secara umum pesertanya emang udah jadi penyanyi beneran.

Yang saya kagum banget adalah ada begitu banyak peserta yang kualitas suaranya kelas dunia tapi pekerjaan sehari-harinya berbanding terbalik dengan kehidupan dunia glamour. Misalnya ada yang kerjanya ngangkat dan membungkus barang di Supermarket, ada yang kerjanya sebagai The Nanny alias pengasuh anak. Ada yang jadi tukang cat. Ada yang ngamen di jalan-jalan, ada yang jadi montir di bengkel kecil dan masih banyak lagi.

Sebetulnya kedengerannya biasa aja kan? Tapi sebagai mantan pemusik, saya punya banyak temen yang merasa dirinya seniman, dan gilanya kata 'seniman' itu dia jadikan alasan untuk ga mau kerja. Misalnya temen saya Herman. Dia selalu bilang kalo dia pemusik dan pencipta lagu. Tapi jarang banget dia ditanggap sebagai pemusik, kalo ada pun itu cuma acara kawinan atau sunatan di kampung-kampung yang notabene penyeleggaranya adalah temen nongkrongnya juga.

Herman ngabisin waktunya dengan nongkrong di pusat kesenian atau gelanggang remaja. Tiap hari kerjanya gitaran dan bernyanyi. Saat itu dia sedang menyanyikan lagu ciptaannya yang bercerita tentang cinta seorang seniman yang ditolak oleh wanita idamannya. Gayanya penuh penghayatan, seakan-akan dia sedang manggung di Madison Square Garden. Padahal lagunya lagu cengeng dan suara serta main gitarnya juga pas-pasan.

Menurut Herman, dia udah nyiptain lebih dari 300 lagu, ck...ck...ck... hebat ya? Tapi sayangnya ga ada satu pun produser atau artis yang mau ngerekam apalagi membeli lagunya. Hadeuh!

Kalo laper dia ngutang makan di warung. Karena utangnya udah kebanyakan, sering dia ga diizinkan lagi buat ngutang, nah apa yang dilakukannya? Dia minjem duit atau minta traktir sama temennya yang kebetulan juga lagi makan. Begitu deh kegiatannya sehari-hari. Beda banget sama peserta The Voice yang saya ceritakan di atas.

Saya suggguh gemes ngeliat kelakuannya. Beberapa kali saya suruh kerja, dia cuma mesem-mesem aja terus nyautnya gini, "Belom ada produser yang ngajak gue rekaman Bud."

"Kalo belom ada order nyanyi atau bikin lagu kan lo bisa kerja yang lain?" kata saya.

"Gue seniman Bud. Gue ga mau kerja di luar dari bidang seni yang gue tekuni."

"Kalo sampe mati lo ga dapet order, gimana?"

"Ya gapapa Bud. Minimal gue mati sebagai seniman yang punya prinsip. Seniman yang berdedikasi pada dunia yang sudah dipilihnya." Gila kan argumentasinya?

"Man, gue ga nyuruh lo ninggalin dunia lo. Sementara nunggu order kan lo bisa kerjain yang lain dulu?"

"Gue ga punya kemampuan apa-apa selain musik dan nyanyi Bud."

"Lo kan bisa nyetir, jadi supir kek, badan lo gede kan bisa jadi satpam. Kalo perlu lo jadi pemulung juga gapapa, yang penting lo punya pemasukan." desak saya lagi.

"Lo udah miring otaknya ya Bud?" Tiba-tiba suara dia berubah dingin.

"Kenapa?" tanya saya heran.

"Gue ini seniman. Profesi yang bermartabat. Masa lo nyuruh gue jadi pemulung?"

"Emang kenapa kalo jadi pemulung?"

"Gengsi dong! Di mana harga diri gue di mata orang lain? Apa kata keluarga gue nanti?"

Abis percakapan itu saya nyerah dan membiarkan seniman rudin ini sibuk dengan mimpinya. Herman mempunyai 2 anak. Anak tertuanya yang perempuan akhirnya dibiayai oleh isteri saya. Karena isteri saya ga tega juga ngeliat anak Herman yang sangat kuat keinginannya untuk meneruskan kuliah.

Tapi saya masih ga abis pikir, kenapa Herman merasa jadi pemulung itu kurang bermartabat? Mendingan jadi pemulung kan daripada tiap hari nyusahin orang lain, pinjem duit, ngutang makan, nebeng rokok.

Saya jadi semakin terinspirasi sama omongannya Bupati Bantaeng di atas. Orang-orang di negara maju, gengsinya rendah dan malunya tinggi. Mereka ga gengsi ngaku salah, mereka ga gengsi mengundurkan diri, mereka ga gengsi melakukan pekerjaan apapun selama itu adalah pekerjaan halal.

Semakin dipikirin pikiran saya semakin gundah. Waduh! jangan-jangan filosofi gengsinya rendah, malunya tinggi itu kebalikan dengan mental orang kita ya? Kalo orang kita kayaknya gengsinya yang tinggi dan malunya yang rendah. Huh! Pantes banyak korupsi di mana-mana. Gengsi kan butuh ongkos. Dan korupsi? Ngapain musti malu? Toh semua orang juga korupsi?

Ya Allah...lindungilah Negara ini. Amin.

Baca Selengkapnya......

Senin, 12 Mei 2014

sebuah cerita





Aku Menangis Untuk Adikku 6 kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik laki-laki, tiga  tahun lebih muda  dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,  Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?"
 Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!".
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,
 "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?
... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
 Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut,
"Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu,adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
 "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab,tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
 "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu siapa menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
 Tetapi katanya, sambil tersenyum,
 "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?"
Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, dan mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya  menggerutu,
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:
 "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!". "Mengapa membicarakan masa lalu?"
 Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Padahal ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku".
 Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Baca Selengkapnya......

DP for your BB free

















































Baca Selengkapnya......